Belajar Bahasa Arab: Buang rasa Malu, Bunuh Rasa Takut!
Kecintaannya terbangun karena sering melihat neneknya mengajar majelis taklim dengan bahasa Arab sebagai bahasa pengantarnya

MALAM itu, Putut Prabowo memutuskan menyudahi kelas 
bahasa Arabnya. Padahal itu kelas perdananya di sebuah lembaga 
pengajaran Bahasa Arab. Akhirnya ia berusaha mencari lembaga lainnya 
yang membuat salah satu bahasa yang terbanyak dipakai penduduk dunia itu
 bisa dipelajari dengan lebih menyenangkan.
Hasil pencariannya di Google membawanya pada Indonesia Arabic Center 
(IAC) di Universitas Al Azhar Indonesia (UAI), Kebayoran Baru, Jakarta. 
Di sana, pengajaran kursus dikemas dengan ringan dan menyenangkan. Suami
 dari Wahyu Puspitarini itu terdaftar sebagai murid kelas Dasar I. Sudah
 sebulan ia belajar di sana.
“Materi Dasar I lebih banyak tentang percakapan. Kami dilatih untuk ngomong dan terus ngomong,” jelasnya.
 Praktis, sederhana,  mudah dipahami, namun sangat komprehensif, 
merupakan metode yang diunggulkan. Menurut Putut, IAC menargetkan 
peserta terbiasa bercakap-cakap Bahasa Arab dalam kurun waktu enam 
bulan. Kelas Dasar I akan dilanjutkan dengan Dasar II. Setelah itu jika 
memenuhi syarat, peserta bisa melanjutkan ke kelas Mustadaqili I, II dan
 III.
Belajar dengan menyenangkan. Hal inilah yang sering diharapkan para 
pemburu ilmu yang ingin menguasai bahasa Al-Quran ini. Yang sering ada, 
banyak lembaga Bahasa Arab dirasakan susah. Ada lagi hambatan lain, 
perbedaan usia teman sekelas membuat orang sering hengkang. Ada juga 
baru kursus sebulan sudah hengkang karena kurang sreg dengan metode pengajarannya.
“Kurang interaktif dan pembawaan pengajarnya serius,” ungkap Putut.
Membandingkan materi pengajaran yang ia dapatkan  di IAC dengan 
beberapa lembaga tempatnya dahulu kursus, lulusan Teknik Informatika 
Universitas Gunadharma, Jakarta itu mengatakan,  hal lainnya yang 
membuatnya kini lebih enjoy dan nyaman kursus Bahasa Arab adalah cara pengelolahan kelas.
Bagi pengusaha kedelai itu, teman sekelas, pengajar dan cara 
penyampaian materi merupakan beberapa faktor yang menurutnya membuat 
nyaman seseorang belajar Bahasa Arab.
Lain lagi dengan Rini Deliana. Pemilik kursus bahasa Arab, LAZIM ini 
 membenarkan tentang masih adanya pandangan tentang belajar Bahasa Arab 
yang membosankan. Perempuan yang sudah mengajar Bahasa Arab belasan 
tahun itu banyak menemui orang-orang yang jemu saat belajar bahasa para 
penghuni surga itu.
Menurut Deliana, harus diakui, di Indonesia Bahasa Arab bukanlah 
bahasa yang diprioritaskan untuk dipelajari. Padahal di sinilah umat 
Muslim terbesar di dunia berasal. Pada beberapa orang, hidayatullah.com pernah menanyakan tentang kemungkinan suatu saat belajar bahasa tersebut.
Namun kebanyakan mereka justru balik bertanya, “Untuk apa saya harus 
belajar? Mau jadi TKW?” Anggapan itu tentu saja dengan sendirinya 
membentengi diri untuk berinteraksi lebih dalam dengan Bahasa Arab.
Padahal dalam beberapa tahun terakhir, negara-negara di Timur Tengah menunjukkan performa ekonomi yang moncer.
 Di saat keseimbangan kekuatan ekonomi tengah bergeser, terlihat 
negara-negara di Timur dengan cadangan kas yang besar berinvestasi di 
kawasan-kawasan tertentu pada tingkat yang belum pernah terjadi 
sebelumnya.
Mereka banyak melakukan ekspansi dan investasi. Dengan begitu peluang
 penyerapan tenaga kerja terbuka lebar. Akhirnya tren saat ini mulai 
menunjukkan Bahasa Arab tidak hanya dipelajari oleh umat Muslim, tapi 
juga non Muslim.
Konstelasi politik di Timur Tengah yang makin bergejolak, turut 
mendorong suburnya peminatan bahasa Arab. Bahasa ini suatu saat akan 
berperan dalam ekonomi dan politik dunia. Akhirnya, tidak hanya 
anak-anak lulusan pesantren saja yang ingin memperdalamnya, tapi juga 
mereka yang lulusan sekolah umum, pegawai perkantoran dan bahkan ibu 
rumah tangga. Fenomena ini juga diakui Putut. Menurutnya, di kelasnya 
ada satu peserta non Muslim.
“Di kelas ada satu peserta non Muslim. Dia ikut belajar karena ada 
kemungkinan dikirim perusahaannya ke Arab,” ujar Putut membenarkan 
fenomena ini.
Buang rasa malu dan Takut
Berbagai tanggapan miring tentang susahnya belajar Bahasa Arab perlu 
segera ditanggulangi. Menurut Rini, kata kunci keberhasilan dalam 
berbahasa adalah terus aktif menggunakannya.
“Banyak lulusan jurusan Bahasa Arab dan bahkan mereka yang sudah lulus kelas syari’ah, tapi ketika diajak ngomong
 Bahasa Arab, kaku. Itu karena tidak terbiasa menggunakannya secara 
aktif,” ungkap lulusan Pendidikan Guru Bahasa Arab (PGBA) Ash-Shahwah 
dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab Jakarta (LIPIA), Jakarta, 
itu.
Pada setiap muridnya Rini selalu menekankan untuk membuang jauh-jauh rasa malu dan sungkan berbahasa Arab secara aktif.
“Buang rasa malu, bunuh rasa takut!” jargon itulah yang selalu 
didengungkannya. Salah mengucapkan adalah hal biasa. Tidak perlu menjadi
 momok menakutkan.
Rini mengakui bahwa perkembangan bahasa Arab tidak signifikan di 
Indonesia. Di berbagai universitas yang di dalamnya terdapat jurusan 
Bahasa Arab juga jarang yang mengadakan kegiatan yang membuat bahasa 
Arab terlihat menarik dan menyenangkan.
Ketika rasa suka itu sudah ada, apalagi ditambah kedekatan 
interpersonal antara guru dengan murid, maka Bahasa Arab menjadi bahasa 
yang menyenangkan.
Sama seperti Rini. Perempuan berdarah Padang, itu sudah termotivasi 
berbahasa Arab sejak kecil. Kecintaannya terbangun karena sering melihat
 neneknya mengajar majelis taklim dengan bahasa Arab sebagai bahasa 
pengantarnya.
Karena itulah mantan pengajar SD Islam Plus, Cibinong, Bogor dan SDIT
 IQRO, Pondok Gede, Bekasi, itu berusaha mencari metode yang pas bagi 
pembelajaran Bahasa Arab. Ibu dengan lima anak itu berusaha menempatkan 
dirinya sebagai siswa. Apalagi berdasarkan pengalamannya, Ia juga pernah
 mengalami kesulitan dalam mempelajarinya.
Tidak bosan-bosannya ia mendatangi setiap pameran buku. Dengan 
melihat puluhan ribu buku yang dipamerkan, Ia berharap bisa mendapatkan 
inspirasi dalam pengembangan pengajaran.
“Saya banyak mengadopsi metode pengajaran dari bahasa Inggris,” 
ulasnya. Agar murid memiliki gambaran, Ia seringkali menggunakan grammar Bahasa Inggris sebagai pembandingnya. Aturan penggunaan kalimat dalam Bahasa Arab banyak kemiripan dengan Bahasa Inggris.
Selain itu, Bahasa Inggris lebih beragam menggunakan alat peraga ketimbang Bahasa Arab.
“Sayangnya hal itu tidak banyak diadopsi untuk pengajaran Bahasa 
Arab, terutama di Indonesia. Akhirnya saya membuat alat peraga 
sendiri,”ulasnya. Kartu kwartet, ular tangga, balok kayu, merupakan 
beberapa alat peraga yang ia buat sendiri. Bahkan untuk memudahkan 
mengingat kosa kata dan perubahan fi’il, Rini menciptakan lagu.
“Pokoknya bagaimana supaya mereka dengan sendirinya bilang “I love Arabic”,” ulasnya sembari tersenyum.
Selain alat peraga, seorang pengajar juga memerlukan pendekatan yang menyesuaikan dengan karakter anak didik.
“Kalau murid kita anak-anak, kita harus tahu dunia mereka. Bercerita,
 banyak menggunakan gambar, bernyanyi dan diselingi permainan adalah 
cara belajar yang mereka sukai,” jelas perempuan yang pernah mengajar di
 Gita Islamic Montessori School, Kemang-Jakarta, itu.
Bahkan untuk menghidupkan cerita, boneka tangan digunakannya sebagai 
maskot. Jika boneka tangan berbagai suara itu membuat mereka bosan, Rini
 akan beralih menggunakan lagu. Jika kejenuhan mulai terlihat, ular 
tangga, kartu kwartet, serta puzzle, akan bergantian 
dimainkannya. Bahkan sesekali, Ia bersama muridnya menonton film 
berbahasa Arab. Dengan begitu, selama dua jam, perhatian anak-anak tetap
 tertuju padanya.
Begitu juga pengajaran untuk orang dewasa, tetap harus menyenangkan 
dan membuat mereka merasa membutuhkan bahasa yang satu ini. Rini 
mencontohkan materi yang disampaikannya pada ibu rumah tangga.
“Untuk mereka, saya tidak mengadakan ujian dan lebih memasukkan 
nilai-nilai Islam di dalamnya,”jelas perempuan yang sering dipanggil 
“Umi Rini Bahasa Arab” oleh para tetangga di rumahnya itu.
Bacaan dalam sholat dan Al-Qur’an sangat bersentuhan dengan bahasa 
Arab. Mengaitkannya dengan materi keislaman, akan terasa aplikatif. 
Ibadah Umroh dan Haji menjadi tema menarik dikalangan pegawai 
perkantoran. Menurut Rini, mereka terlihat lebih senang jika materi 
dikaitkan dengan kedua ibadah itu.
Hal yang sama juga terus memotivasi Putut. Anggota Remaja Islam Sunda
 Kelapa (RISKA), Jakarta, itu tergerak mempelajarinya semata karena 
nilai ibadahnya.
“Gimana bisa memahami Al-Qur’an, kalau alat bantunya saja kita tidak 
punya?”Putut menegaskan. Ia berharap bisa konsisten mengikuti pelajaran 
sampai jenjang terakhir.


 

.png) 
Media Sosial Kami